Rahayu Sedulur,
Kandang Buto di Kecamatan Dongko menjadi saksi sejarah lahirnya para ksatria ini, melalui tangan hangat Mbah Pamrih mereka dibesarkan menjadi sosok yang dikenal luas. Ya, Turonggo Yakso. Sebuah kesenian yang tidak terbilang baru namun masih berjuang untuk sebuah eksistensi.
Turonggo Yakso (TY) sperti seni jaranan yang lain, hanya saja "eblek" yang digunakan berbeda. Kuda berkepala raksasa menjadi khas jaranan ini.
-jaranan Senterewe dari Tulungagung digambarkan seorang prajurit perang yang menunggang kuda dengan senjata pecut. Iringan jaranan ini seringkali disisi Semacam Genre dangdut.
-jaranan Dor dari Jombang digambarkan sebagai seorang prajurit yang mengendarai kepang kuda yang ukurannya lebih besar dari Senterewe, mereka memegang tongkat pendek untuk diadu. Yang khas dari iringan ini adalah adanya jidor yang dipukul ritmis
-jaranan Pegon, menurut penulis ada dua jenis yaitu Pegon dengan kepang Jatil yang kecil, Kostum penari Srikandi, dan yang satu dengan kepang sebesar jaranan Dor dan iringan khas Kedirian (penulis kurang tahu apakah ada sebutan khusus tentang jaranan kediri)
-jaranan Buto Banyuwangi, bisa jadi ia adalah sodara kandung TY, Kepang yang dikenakan 80 persen mirip, hanya saja penunggang nya berupa raksasa tanpa menggunakan Pecut.
Lalu apakah sudah cukup kuat ksatria TY ini dengan idiom ke-Trenggalek-annya.? Terlepas dari itu penulis berani mengatakan bahwa TY selangkah lebih maju dari saudara-saudaranya yang lain, dengan adanya Festival Turonggo Yakso yang diadakan setiap tahun oleh Pemkab, tahun 2018 nanti sudah menginjak yang ke 23. Penulis berterimakasih pula kepada grup dan sanggar jaranan yang mementaskan ksatria ini di setiap gelarnya.
Sebenarnya alasan dasar mengapa penulis perlu mengangkat kekhawatiran ini adalah adanya minat dan permintaan kawan Duta Wisata nonTrenggalek mementaskan TY di kancah nasional hingga internasional. Mereka yang tidak tahu menahan tentang tari ini sebelumnya melakukan studi melalui media YouTube, dan apa hasilnya? Gerakan kreasi mereka pilih sehingga TY hampir kehilangan esensi. Untung mereka sempat mendiskusikan hal ini kepada seseorang yang sedikit tahu sehingga dapat diarahkan. Dari permasalahan itu, rupanya perlu adanya pemakeman TY sebagai seni yang memiliki ciri. Misalkan pakem iringan, eblek nya sendiri, kostum, hingga gerakan. Tidak disangkal bahwa jaranan ini adalah kesenian kerakyatan yang bersifat bebas, pengembangan bisa saja terjadi, namun dibalik itu mbokya beberapa hal tetap dijaga agar TY tidak kehilangan ruh nya.
Khususnya dalam hal ini pemerintah harus bergerak cepat, menyadari bagaimana menyikapi sebuah kesenian, pengembangan dan pelestarian. Silakan para seniman melakukan pengembangan dan menciptakan kreasi, namun tetap menjaga beberapa poin yang menjadi sukma Turangga Yaksa. Jika penulis boleh menuliskan apa yang menjadi khas TY sendiri salah satunya gerakan lawung (atau klawung). Gerakan ini hampir ada d seluruh tarian dalam perpindahan variasi gerak. Lawung tidak d jumpai pada tarian lain (menurut penulis). Hal inilah yang harus diabsahkan oleh pemerintah dan disikapi oleh seniman.
Standarisasi kesenian itu penting, dalam hal ini sebagai contoh Festival Reyog Ponorogo, mereka berani mengambil langkah tegas dalan tujuan mempertahankan pakem dengan melarang penggunaan topeng Bujangganong yang memiliki siung (taring), siapa yang melanggar maka grup tersebut akan otomatis didiskualifikasi. Langkah tegas dan berani ini bukan tanpa alasan, pemerintah benar-benar menjaga esensi tokoh Bujangganong sebagai seorang patih. Mungkin kita juga perlu mengadopsi sistem semacam ini
Beberapa upaya sudah pernah dilakukan penulis guna menyampaikan uneg-uneg Pemerhati seni lain kepada dinas terkait, hingga ke kepala kepemerintahan. Semoga semua hanya masalah waktu.
Apakah ksatria pengendali hawa nafsu ini mampu bertahan dan berhasil menciptakan atmosfernya sendiri? Andalah yang berhak menjawab.
Rahayu.
Komentar
Posting Komentar
wajib komen..